Rangga Dian Fadillah, penerima beasiswa Chevening, mahasiswa Energy Economics di Dundee University


Mungkin cerita saya tidak masuk dalam kategori dramatis dan tentu saja jauh dari ambang batas kelayakan untuk diangkat ke layar lebar. Tapi bagi para “Bounty Hunter”, begitu saya menyebut diri sendiri kala berburu beasiswa, sepatah atau dua patah kata dari para pendahulu yang sukses menaklukkan takdir dan mewujudkan mimpi selalu menjadi refrensi yang menarik.

 

Menjejakkan kaki di tanah Eropa sudah menjadi mimpi saya sejak pertama kali mengenal sepakbola. Sebagai fans klub kota fashion Italia, AC Milan, dan penonton setia Liga Champions Eropa, saya seringkali berkhayal bagaimana rasanya duduk di bangku stadion-stadion raksasa klub-klub ternama ditemani gemuruh nyanyian para pecinta sepakbola dari berbagai belahan dunia.

 

Tapi apa daya, Tuhan melahirkan saya sebagai anak pertama dari seorang ibu yang kebetulan bukan istri seorang taipan. Dengan demikian, impian melihat langit Eropa sempat saya kubur dalam-dalam.

 

Mimpi itu bangkit lagi ketika saya kuliah di Yogyakarta dan bergabung dalam tim debat bahasa Inggris. Setelah beratus-ratus jam berlatih, akhirnya saya memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup mumpuni. Satu pintu untuk saya ke Eropa telah terbuka.

 

Melalui pergaulan sebagai debater dan aktivis gerakan mahasiswa pula lah saya mengenal adanya beasiswa sekolah ke luar negeri. Mulai saat itu, sekitar tahun pertama saya kuliah, saya resmi menjadi seorang “Bounty Hunter”.

 

Saya kurang yakin jika cara-cara yang saya lakukan untuk mendapat beasiswa bisa sukses diterapkan ke orang lain. Tapi sebagai bahan pertimbangan, boleh lah saya share jalan yang saya tempuh sampai akhirnya saya mendarat di Kota Dundee yang terletak di Skotlandia.

 

Pertama, pikiran naif saya berpendapat bahwa bahasa adalah syarat nomor satu untuk membawa anda melawat ke luar negeri. Sejak tahun kedua saya kuliah, saya mati-matian belajar bahasa Inggris di klub debat kampus untuk meningkatkan kompetensi saya.

 

Kedua, saya berpendapat bahwa untuk dapat beasiswa, saya harus bekerja di bidang yang menarik bagi lembaga-lembaga penyedia beasiswa luar negeri. Saat itu saya berpikiran ada empat jenis karir yang berpeluang besar dapat beasiswa: Akademisi, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Jurnalis dan pekerja lembaga swadaya masyarakat (LSM).

 

Kebetulan bersamaan dengan saat saya lulus kuliah, The Jakarta Post, koran berbahasa Inggris terbesar di Indonesia, sedang mengadakan road show untuk merekrut reporter-reporter baru. Jadilah saya melamar dan ternyata jodoh di tangan Tuhan, tanpa disangka saya lolos dan diterima bekerja di kantor Jakarta.

 

Ketiga, selama bekerja menjadi reporter di The Jakarta Post, saya berusaha keras mengingkatkan kemampuan saya, baik dalam menulis bahasa Inggris maupun dalam penguasaan bidang yang saya cover.

 

Saya bekerja hampir tiga tahun di sana dan sangat menikmati tiap menitnya. Setahun terakhir, saya ditempatkan di sektor energi dan sumber daya mineral, dan lagi-lagi, jodoh di tangan Tuhan, entah karena alasan apa, saya merasa sangat tertarik dengan bidang ini dan tergoda untuk mendalaminya.

 

Memasuki tahun kedua bekerja di The Jakarta Post, saya mencoba peruntungan dengan mendaftar beasiswa Australian Development Scholarship (ADS).

 

Saya gagal. Hanya surat penolakan yang sampai ke kotak pos rumah saya.

 

Beberapa bulan kemudian, aplikasi Beasiswa Chevening dari pemerintah Britania Raya di buka. Pikir saya, jika Australia saja yang menyediakan beasiswa untuk 400 orang saya gagal, apalagi Britania yang kuotanya cuma 30 orang.

 

Namun, saya berhasil mengumpulkan serpih-serpih harapan dan memasukkan aplikasi untuk beasiswa tersebut. Tujuan saya adalah Centre for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy (CEPMLP) di University of Dundee.

 

Ternyata, walaupun mendaftar dengan hati yang luluh lantak dan pesimisme yang super tinggi, jodoh memang di tangan Tuhan. Saya lolos menjadi salah satu penerima beasiswa Chevening, salah satu beasiswa paling prestisius di kolong langit.

 

Dan hebohnya lagi, saya mendapat beasiswa Chevening ini di percobaan pertama, hal yang membuat saya merasa bersalah kepada para sesepuh “Bounty Hunter” yang mungkin sudah gagal berkali-kali dalam usaha menggapai beasiswa ini.

 

Jadi kesimpulan yang mampu dibuat otak saya yang lemah ini hanyalah: JODOH DI TANGAN TUHAN. Dan rejeki hanya tersedia bagi mereka yang mengejarnya.

 

Yang jelas, kegagalan hanyalah untuk mereka yang berhenti mencoba. Mungkin keadaannya lebih berat bagi mereka yang telah lima kali gagal dalam usaha melamar beasiswa. Tapi jika anda tidak membuat percobaan keenam, bagaimana anda tahu jika ternyata itu adalah Jodoh yang Tuhan telah tentukan untuk masa depan anda?

 

[spoiler title=”(klik) Profil: Rangga Dian Fadillah” open=”0″ style=”1″]

Penulis adalah penerima Chevening Scholarship, beasiswa dari Pemerintah Inggris, Foreign and Commonwealth Office.

Saat ini menempuh kuliah S2 di Dundee University, jurusan Energy Economics di Centre for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy (CEPMLP)

Ingin berkenalan secara langsung dengan Rangga, silahkan email penulis langsung di: ranggafadhillah@gmail.com

[/spoiler]

Comments